*Jika matematika politik meleset, Jokowi bakal kandas pada pilpres 2019*
Gde Siriana, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Kebijakan Pembangunan dan Pemerintahan Daerah dan Institute Kepemimpinan Soekarno,(Fto; Gatot).JAKARTA literasidepoknews
Gde Siriana, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Kebijakan Pembangunan dan Pemerintahan Daerah dan Institute Kepemimpinan Soekarno, berpendapat, bahwa menurut analisanya, Jokowi bakal kandas pada pilpres 2019 yang akan datang, analisa tersebut menurutnya didasari dari beberapa kejadian atau peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat bangsa Indonesia.
Seperti diketahui bersama, kasus eKTP telah menjadikan Setya Novanto (SN), Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar, sebagai tersangka. Bersamaan dengan itu sebelum SN ditetapkan sebagai tersangka, Pansus Hak Angket KPK telah bergulir dan menjadi kontroversi di DPR maupun publik. Pansus Hak Angket KPK ini seperti berlomba waktu sebelum nama-nama elit partai dari Golkar, PDIP dan lain-lain yang diduga terlbat dalam kasus eKTP diumumkan oleh KPK.
Gde juga menyatakan, melihat jauh ke 2019, di mana Jokowi membutuhkan Golkar dan PDIP sebagai partai pengusungnya, tentu kita bertanya di manakah posisi Jokowi terhadap Pansus Angket KPK? Jika demikian koalisi partai pengusung Jokowi di 2019, maka citra partai tersebut harus baik dan solid dalam mendukung jokowi di Pilpres 2019 yang sulit dicapai jika KPK terus mengusut kasus eKTP. Oleh karena itu tidak bisa tidak harus segera menyelamatkan PDIP dan Golkar, dan upaya ini juga disinergikan dengan UU Pemilu Presidential Threshold 20%.
Di sisi lain, pembentukan Densus Anti Korupsi dapat menjadi instrumen politik untuk bersaing dengan KPK atau bahkan meredam KPK dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader dan elit PDIP dan Golkar. Perlu diingat bahwa kasus Novel Baswedan sebelum menjadi petugas KPK juga belum selesai secara hukum. Bahkan komisioner KPK Agus Raharjo (AR) bisa saja diperkarakan karena diduga juga terlibat dalam kasus eKTP meskipun sebelumnya AR sudah memberi klarifikasi mundur sebelum proses lelang eKTP selesai.
"Runtuhnya bandar-bandar politik di Pilkada Jakarta setelah kekalahan Ahok"
Sebagai aksioma, kemenangan pilkada DKI 2017 sebagai parameter Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Bahkan mantan Presiden SBY menyatakan “ini Pilkada rasa Pilpres.”
Bukti menunjukkan bahwa wacana politik kekinian yaitu bila kandidat didukung oleh pemodal raksasa dan jaringan media dipastikan akan selalu unggul ternyata kalah telak oleh kekuatan rakyat. Ini sekaligus menggugurkan teori “yang kuat modal akan selalu menang”. Kata Gde dalam analisanya
Dengan fakta itu tentu gerakan rakyat ini tidak dianggap enteng meskipun dalam aksi-aksi yang dilakukan bersamaan jelang Pilkada DKI performancenya tampak bersahaja dan mayoritas dari kalangan rakyat biasa. Rakyat biasa ini yang tadinya dianggap awam bahkan tidak paham politik ternyata tidak diduga telah mendapatkan informasi dan pendidikan politik secara berantai dan masif melalui media sosial.
Pemerintah terkesan menunjukkan gejala kepanikan sehingga kebijakannya diduga sarat dengan kepentingan untuk menjegal kekuatan-kekuatan politik yang akan menjadi lawan di Pilpres 2019. Inilah mengapa sebelum mengajukan Perpu tentang Ormas, pemerintah melakukan kontrol terhadap media sosial, rapat-rapat umum, kegiatan akademis dan karya-karya tulis di media massa. (Belakangan, Amnesty Internasional juga menuntut pemerintah mencabut Perpu Ormas). Bahkan setelah KPU menetapkan Anies-Sandi sebagai Gubernur terpilih, beberapa hari kemudian pemerintah mengumumkan rencana pembubaran HTI, dan seminggu kemudian meneruskan kasus Habib Rizieq. Elemen-elemen yang melawan Ahok dan berada di balik Aksi Bela Islam dianggap ancaman nyata bagi Presiden Jokowi di 2019.
Internal Struggle demi menyelamatkan agenda masing-masing*
Jika terjadi Munaslub Golkar, maka posisi SN sebagai Ketua Umum Golkar terancam. Dampaknya adalah apakah kemudian Golkar tetap sebagai koalisi tetapi belum dapat dipastikan mengusung Jokowi di 2019.
Kemudian Direktur Eksekutif Lembaga Studi Kebijakan Pembanguan dan Pemerintahan Daerah dan Kepemimpinan Soekarno ini, mengatakan, bahwa Skenario lain adalah ini bisa hanya suatu konspirasi pelengseran SN dan sekaligus merupakan upaya mengeliminasi pengaruh Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan SN di Golkar yang akhirnya mengancam posisi LBP sebagai Menko yang belakangan diduga punya pengaruh besar pada roda Pemerintahan dalam membuat keputusan-keputusan strategis.
Sementara di sisi lain, belum ada jaminan atau taken for granted bahwa PDIP akan mengusung Jokowi di Pilpres 2019. PDIP tidak mau melakukan kesalahan kedua kali, ketika dianggap sebagai pengikut Golkar yang sudah lebih dulu menyatakan sebagai pengusung Jokowi sebagai Capres 2019. Pengalaman di Pilkada DKI, ketika PDIP akhirnya mengikuti langkah Golkar mengusung Ahok sebagai Cagub DKI prosesnya sangat alot di internal. Bahkan beberapa pengurus DPD menentangnya dan memasang spanduk penolakan kader-kader. Dan penetapan pengusungan Ahok yang dipaksakan akhirnya menghasilkan kekalahan.
Gde juga menganalisa sedangkan Prabowo Soebianto (PS) telah menjadi ancaman serius bagi Jokowi di 2019. Beberapa riset tertutup menunjukkan bahwa saat Di awal-awal Anies melakukan kampanye Pilkada tetapi elektabilitasnya tidak naik. Kemudian dicoba dengan kampanye didampingi oleh PS jelang minggu tenang ternyata mampu menaikkan tren positif yang mencapai klimaks saat pencoblosan. Ini menjadi potensi besar bagi PS untuk menambah rasa percaya diri dalam Pilpres 2019. Tidak heran jika SBY dalam waktu dekat ingin bertemu PS membahas Pilpres 2019.
Hanya perlu diingat, kepolosan dan keluguan PS dalam politik jangan sampai menjadi kisah Batu Tulis 2. Atau kisah memelihara anak macan saat menawarkan dan mendukung penuh Ahok menjadi wakil Jokowi di Pilkada 2012 kepada PDIP.
"SMI punya potensi untuk jadi kandidat meramaikan pilpres 2019"
Dalam beberapa bulan terakhir Sri Mulyani Indrawati (SMI) dilambungkan namanya sebagai tokoh yang berhasil memulihkan ekonomi dan menyelamatkan sumber-sumber keuangan negara oleh media Barat terutama menjelang pelaksanaan G20, juga setelah acara tersebut usai. Dalam pertemuan rapat tingkat tinggi World Bank (WB) dan IMF di Bali, Presiden WB berjumpa Presiden Jokowi menyampaikan poin-poin yang tidak berbeda dengan pernyataan SMI saat di awal-awal SMI jadi menteri keuangan yang menolak konsentrasi pembiayaan infrastruktur yang bersumber dari hutang yang sedang berjalan. Dalam hal ini SMI berbeda pendapat dengan Meneg BUMN Rini Soemarno terkait proyek Infrastruktur yang pengerjaannya di bawah langsung BUMN. SMI menghendaki pengerjaannya melibatkan swasta agar lebih transparan dan tepat sasaran.
*Kesimpulan*
Pertarungan ini akan menajam bilamana agenda Pansus Hak Angket KPK dan pengesahan Perpu Ormas kandas di tengah jalan. Dan menurut hemat saya kedua agenda ini akan kandas, karena akan berhadapan langsung dengan kekuatan rakyat. Indikatornya adalah bahwa operasi-operasi sebelumnya juga gagal dalam melemahkan dan menghadang kekuatan yang kontra Ahok di Pilkada DKI. Dampak dari kandasnya agenda ini adalah Jokowi akan kehilangan muka dan memunculkan reaksi berbalik kepada dirinya.
Jadi kegagalan Jokowi melanjutkan pemerintahan di periode keduanya akan lebih disebabkan oleh internal struggle, di mana semua pihak yang bermain membawa agenda masing-masing. Contoh nyata dan terang benderang adalah kasus Reklamasi Pantura yang memunculkan perseteruan antara Rizal Ramli yang menentang dan LBP yang ngotot Reklamasi dilanjutkan. Pungkas Gde Siriana dalam analisa politiknya. (**/Gatot/Rhmt/Literasi)
(opini yang sama dimuat dalam wartamerdeka dengan judul Unsur oposisi dipencet, Rulling Class saling gencet)
0 komentar:
Posting Komentar